Volume 1
Minggu
18
Yakub: Masa Lalu yang Membawa Pembelajaran
Kejadian 32:1-21
"Baiklah aku mendamaikan hatinya dengan persembahan yang diantarkan lebih dahulu, kemudian barulah aku akan melihat mukanya; mungkin ia akan menerima aku dengan baik." (Kej. 32:20)
Sahabat Keluarga tentu mengenal Yakub. Pada minggu lalu, kita merenungkan bagaimana Yakub menipu Ishak, ayahnya, demi merebut berkat/hak sulung Esau, kakaknya. Setelah peristiwa itu, Yakub hidup sebagai seorang pelarian untuk menyelamatkan diri dari amarah Esau yang hendak membunuhnya. Yakub mengikuti anjuran ibunya untuk tinggal bersama Laban, pamannya, selama beberapa saat hingga reda amarah Esau (Kej. 27:44). Hidup di tempat Laban pun bukan tanpa masalah. Meskipun ia bertemu dengan pasangan hidupnya, Rahel, yang adalah anak Laban, Yakub juga harus menghadapi kelicikan mertuanya itu sehingga ia pun memutuskan untuk pergi dari Laban dan kembali ke negeri nenek moyangnya sesuai perintah Allah. Namun lagi-lagi Yakub berjumpa dengan masalah. Seperti judul perikop bacaan hari ini, "Yakub Takut Bertemu dengan Esau", bisakah kita membayangkan perasaan Yakub yang hidup dalam ketakutan selama 20 tahun akibat kesalahannya terhadap Esau? Lantas, apa yang dilakukan Yakub ketika akhirnya harus menghadapi ketakutan terbesarnya: bertemu dengan Esau? Ia berdoa (Kej. 32:9-12) dan berusaha memberikan apa yang ada padanya untuk membuka jalan perdamaian (Kej. 32:13b-21).
Philip Yancey Zondervan dalam bukunya yang berjudul "Rumors of Another World: What on Earth are We Missing" memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana melepaskan kepahitan di masa lalu. Ketika Nelson Mandela menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan yang lama dikuasai oleh politik Apartheid (sistem pemisahan ras yang ditetapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan), ia menunjuk sebuah komisi untuk menentukan hukuman yang akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan kekejaman kepada warga kulit hitam. Suatu saat, seorang perempuan tua dipertemukan dengan seorang pejabat kulit putih yang membunuh anak dan suaminya. Ketika ditanya, hukuman apa yang ia harapkan terjadi bagi pejabat itu, ia memberikan jawaban yang tidak disangka-sangka. Ia katakan, "Walau saya tidak lagi memiliki keluarga, tapi saya masih memiliki banyak cinta untuk diberikan." Lalu ia meminta pejabat itu untuk menemuinya secara teratur sehingga ia dapat menyalurkan cinta kasih itu kepada pejabat tersebut. "Saya ingin memeluknya agar ia tahu bahwa pengampunan itu nyata." Hal inilah yang kemudian membuat Sang Pejabat begitu menyesal hingga tak sadarkan diri.
Sahabat Keluarga, Yakub begitu takut untuk bertemu dengan saudaranya sendiri, yang telah ia curangi habis-habisan. Kesalahan di masa lalu dapat sedemikian menghantui seseorang, membuatnya hidup dalam ketakutan. Bisakah Sahabat bayangkan, bagaimana pikiran dan perasaan Sang Pejabat Apartheid menantikan jawaban Perempuan yang keluarganya ia bunuh? Betapa takut dan gelisah yang ia rasakan sehingga ia begitu menyesali apa yang telah diperbuatnya. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Namun selalu ada kesempatan untuk menyesali dan berusaha membuka jalan perdamaian. Ingat, pengampunan itu nyata!