Volume 1
Minggu
15
Abram: Diutus Menjadi Berkat
Kejadian 12:1-9
“Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” (Kej. 12:2)
Tuhan memanggil Abram (yang kemudian kita kenal sebagai Abraham pada pasal 17) dan
mengutusnya pergi ke suatu negeri yang belum dikenalnya saat ia berusia 75 tahun.
Persoalan “pergi” ini pasti bukanlah hal yang mudah. Coba Sahabat Keluarga bayangkan,
di usianya yang tak lagi muda, Abram harus keluar dari zona nyamannya untuk
mengembara ke negeri asing. Ia harus meninggalkan kemapanannya, para kerabatnya
yang telah ia kenal lama, dan bahkan harus beradaptasi kembali untuk hidup di tengah-tengah bangsa asing. Belum lagi ia harus menempuh perjalanan yang panjang dan
melelahkan melewati wilayah More yang sering terjadi peperangan antarsuku di
sekitarnya sehingga sulit bagi Abram untuk memiliki tanah di sana. Sebenarnya, akan
lebih mudah bagi Abram untuk menolak perintah Tuhan. Namun demikian, Abram
memilih taat untuk melakukan perintah-Nya serta percaya pada janji penyertaan-Nya.
Pada perikop bacaan hari ini, setidaknya kita belajar tentang dua tahapan iman dalam
hidup Abram, yaitu iman ketika ia dipanggil keluar dari negerinya dan iman ketika ia
harus berdiam di tanah yang bukan miliknya. Tahapan iman ini yang kemudian mengawali
misi Allah untuk membenahi bumi. Siapa yang sangka, sikap percaya tanpa ragu yang
diwujudkan dalam aksi nyatanya, membuat Abram (kemudian menjadi Abraham)
memiliki posisi istimewa dalam misi Allah bagi bumi.
Menurut Keil and Delitszch, pembenahan bumi yang sudah kacau ini Allah mulai
dengan memanggil keluarga Abraham. Abraham menjadi agen perubahan untuk
membenahi situasi dan kondisi bumi dari kacau menjadi teratur. Dalam
ketidakpahamannya akan masa depan hidupnya, ia tetap taat terhadap panggilan-Nya.
Kuncinya, Abram percaya dan memegang teguh janji Allah yang akan memimpin
hidupnya. Bahkan kemudian, Tuhan memberkati Abram dan membuatnya menjadi berkat
bagi semua kaum di muka bumi. Iman ‘menantang’ kita untuk taat dan percaya pada
sesuatu yang melampaui logika kita. Menurut Martin Luther, iman adalah hal yang aktif,
sulit, namun kuat. Iman itu sulit karena manusia cenderung mendasarkan segala sesuatu
pada yang kelihatan dan masuk akal. Disinilah perbedaan orang beriman dan tidak
beriman. Orang beriman akan percaya bahwa yang tidak/belum kelihatan itu akan
terwujud kelak dan yang tidak masuk akan itu akan terjadi kelak. Layaknya Abram yang
rindu untuk memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk pada janji-Nya.
Sahabat Keluarga, ketaatan merupakan sebuah tindakan iman. Namun banyak
orang Kristen yang menganggap bahwa hanya iman yang perlu, sedangkan soal ketaatan
itu nomor dua. Mereka mengatakan percaya kepada Tuhan, namun tidak punya niat untuk
menaati-Nya. Konsep seperti ini betul-betul keliru! Jika Sahabat Keluarga tengah
menempuh perjalanan iman yang panjang seperti Abram, tetaplah pelihara ketaatan
pada-Nya. Jika Anda dapat taat kepada atasan Anda, mengapa tidak Anda taat kepada
Sang Pemilik Kehidupan?