Volume 1
Minggu
21
Samuel: Hakim yang Gagal Menjadi Orang Tua
1 Samuel 8:1-22
"Tetapi anak-anaknya itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan." (1 Sam 8:3)
Karena sikap hidupnya yang taat dan sejalan dengan kehendak Allah, Samuel dikenal sebagai seorang hakim yang luar biasa sehingga seluruh Israel menghormatinya. Ia menjadi hakim atas Israel seumur hidupnya, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menyampaikan firman Tuhan (1 Sam 7:15-17). Sayangnya, tidak demikian dengan kedua anak laki-laki Samuel, yaitu Yoel dan Abia, yang hidupnya tidak seperti teladan ayahnya. Mereka mengejar kepuasan pribadi dengan melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Allah: mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan (1 Sam 8:3). Bisakah Sahabat Keluarga bayangkan, Samuel Sang Hakim, gagal mewariskan teladan kepada kedua anaknya? Inilah yang membuat bangsa Israel kecewa dan menuntut Samuel mengangkat seorang raja. Sebagai orang tua, tentu Samuel merasa kesal (1 Sam 8:6). Namun sebagai 'alat Tuhan', ia memohon petunjuk dari-Nya.
Seorang konselor remaja terkejut bukan main ketika ia menerima telepon dari sekolah anaknya. Wali kelas anaknya menjelaskan dari telepon bahwa anak konselor tersebut kedapatan mencuri uang kas kelasnya. Setibanya di sekolah anaknya, wali kelas menjelaskan kepada konselor bahwa anaknya mencuri uang kas karena ingin memiliki waktu berbincang dengan orang tuanya. Anak itu melihat betapa orang tuanya terlibat dalam pergumulan para remaja yang menjadi konseli orang tuanya itu. Itulah yang mendasari perbuatannya, mencuri uang kelas demi mencuri perhatian orang tua.
Sahabat Keluarga, setiap orang tua perlu hadir secara nyata dalam kehidupan anak, untuk memberikan perhatian, dukungan serta pendidikan iman bagi mereka. Sebab, warisan luar biasa yang dapat setiap orang tua berikan kepada keturunan mereka adalah teladan dalam iman, pengharapan dan kasih, bukan sekadar warisan harta benda. Warisan ini menjadi perlengkapan dan bekal yang akan mencukupi perjalanan hidupnya sebagai anak-anak Terang. Bukankah itu kerinduan setiap orang tua, menyaksikan buah hati mereka menjadi pribadi yang cakap dan berkenan di hadapan Tuhan?